Memahami Kebutuhan Anak

|
Tanggal 16 Agustus 2008, saya menghadiri sebuah seminar yang sangat menarik mengenai cara membantu anak-anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah umum. Materi ini dibawakan dengan sangat baik oleh Dra. Dyah Puspita, seorang praktisi dan pemerhati pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Segala sesuatu yang ia paparkan sangat menarik. Namun, ada satu hal yang selalu nyantol di kepala saya hingga saat ini, yaitu masalah tahapan kebutuhan anak.

Apa sih yang sebenarnya penting diberikan kepada setiap anak? Apa yang seharusnya menjadi fokus pendidikan?

Di sebelah kiri ada sebuah piramida yang diperkenalkan oleh Bu Ita, panggilan akrab Dyah Puspita, dalam seminarnya itu. Pada tingkatan dasar piramida, ada self help, self regulation, dan functional communication. Kemudian academic skill pada tingkatan selanjutnya, dan socialization pada tingkatan teratas. Inilah yang disebut sebagai piramida kebutuhan anak.

Setiap orang tua dan pendidik harus mampu menyadari bahwa titik tumpu pendidikan bukanlah harus selalu kemampuan akademik, seperti yang selama ini diterapkan di sekolah. Tumpuan awal pendidikan adalah bagaimana menanamkan cara mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikirannya (functional communication), cara mengatur dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain (self regulation), dan cara mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang mendasar, misalnya: apa yang harus dilakukan ketika lapar, bagaimana cara membeli barang di toko, apa yang harus dilakukan ketika marah, apa yang harus dilakukan ketika ingin buang air, dan lain sebagainya (self help).

Apabila ketiga aspek tersebut belum ada pada diri seorang individu, maka sepintar apapun ia (academic skill sebaik apapun), ia akan mengalami hambatan untuk bersosialisasi dengan orang lain (tingkatan socialization), dan berkembang menjadi seorang individu yang utuh dan cemerlang. Keadaan ini yang seringkali dihadapi oleh para orang tua dan pendidik sekarang. Banyak individu yang ketiga aspek dasarnya belum tertata dengan baik sehingga menimbulkan masalah ketika masuk ke dunia masyarakat.

Tahapan-tahapan tersebut berlaku untuk setiap anak, bukan hanya anak-anak berkebutuhan khusus.

Ada sebuah kasus nyata yang pernah saya hadapi.

Seorang yang sudah masuk dalam dunia pekerja, seorang yang sangat brilian. Beliau terbiasa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya dengan hasil yang sangat memuaskan. Beliaupun sangat disukai oleh teman-teman sekerjanya.

Ternyata, di rumah, beliau adalah seorang yang sangat pemalas, manja, dan egois. Beliau hampir tidak pernah melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri di rumah. Segala pekerjaan rumahnya, pakaian-pakaian kerjanya, kamar tidurnya, makanannya, semua dikerjakan oleh sang ibu. Beliau sangat pemarah. Seringkali beliau memarahi ibunya apabila segala sesuatu tidak sesuai dengan apa yang beliau inginkan. Sang ibu tak tahu harus berbuat apa, ia pun memutuskan untuk melakukan apa yang diinginkan anaknya tersebut.

Selama beberapa waktu, ketidaksinkronisan ini tidak terlihat sama sekali oleh teman-teman beliau di tempat kerja. Namun, emosi beliau lama-kelamaan terlihat di tempat kerja ketika setiap malam beliau harus ribut dengan ibunya akibat kejengkelan hatinya melihat sang ibu yang lebih sering mengurusi adiknya. Beliau menganggap tindakan sang ibu tidak adil. Kemarahan beliau yang terus menerus ini membuatnya sulit tidur dengan nyenyak dan terbangun dengan keadaan tubuh yang sangat tidak segar. Akibatnya, beliau seringkali harus terburu-buru datang ke kantor, malah kadangkala terlambat. Selain itu, beliau sering merasa sensitif dengan perkataan-perkataan teman sejawatnya yang awalnya ditanggapinya hanya sebagai gurauan. Pekerjaan-pekerjaan yang harus beliau tangani pun akhirnya tidak terselesaikan dengan prima.

Setelah diusut-usut, ternyata kemarahan beliau muncul terutama karena ada permintaan adiknya yang (terlihat) didahulukan, padahal (menurut beliau) sudah seringkali beliau meminta sesuatu dari sang ibu.


Kasus tersebut hadir jauh-jauh hari sebelum saya mengikuti seminar tersebut. Awalnya, saya menganggap kasus ini cukup pelik karena saya bingung harus memulai dari mana. Setelah dipaparkan tahapan tersebut, saya akhirnya paham (lagi) bahwa kepintaran bukanlah segalanya. Sosok "beliau" saya identifikasi belum memiliki kemampuan yang paling mendasar: kemampuan mengatur dirinya sendiri dan kemampuan berkomunikasi. Beliau cenderung tertutup. Akhirnya, dari sanalah saya mulai "bekerja". Beliau diberikan latihan untuk mengungkapkan sedikit demi sedikit mengungkapkan secara verbal apa yang ada di kepala beliau, apa yang beliau inginkan. Selain itu, beliau pun dilatih untuk melakukan secuil pekerjaan rumah dan sebagai balasannya sedikit reward atas apa yang telah beliau kerjakan. Saya pun tahu kapan "pekerjaan" saya itu harus berakhir: ketika ia sudah bisa menyiapkan segala sesuatunya sendiri, tanpa bantuan dari ibunya.

Efek samping yang mungkin terjadi beliau akan mengeluarkan emosinya yang meledak-ledak seandainya beliau sudah lelah. Well, i guess that will be in the next post.

Saya bersyukur, dengan dipaparkannya tahapan kebutuhan anak tersebut, saya bisa memahami (setiap) permasalahan pada anak. Sejak seminar tersebut hingga saat ini, banyak sekali permasalahan anak didik berseliweran di kepala saya, minta diusut sesegera mungkin. Awalnya saya mentok. Seluruh permasalahan itu hanya menonjolkan masalah akademik pada anak. Namun, sekarang saya mulai memilih manakah yang sebenarnya merupakan penyebab timbulnya kemandekan pada akademik anak berdasarkan data-data yang sudah saya peroleh. Dari sanalah saya dan beberapa rekan menggodok solusi untuk setiap kasus yang dihadapi.

Bagaimana dengan anak anda? Apakah kebutuhan dasarnya telah terpenuhi?

1 komentar:

destiyana mengatakan...

Subhanallah! Dapet ilmu baru..
Ada sedikit pencerahan jg utk masalah yg lalu...memang harus btahap..tp insyaAllah menuju yg lebih baik (hehe ga ngerti y teh).
ya gitu lah...