Nama untuk Anakku

|
Selagi berkunjung ke salah satu resto fastfood di kawasan Bintaro, aku
membaca artikel singkat dalam sebuah majalah. Aku jadi teringat
sahabatku yang saat ini menanti hari-hari kelahiran putra pertamanya.
Banyak persiapan yang ia persiapkan, termasuk nama. Walaupun sudah ada
ide di kepalanya, namun tetap saja mencari alternatif, siapa tahu bisa
lebih oke.

Here's the story.

"Ketika hamil, seperti ibu-ibu lain di dunia, saya tak hanya menjaga
kesehatan kandungan tapi juga mulai memikirkan nama untuk si jabang
bayi. Di awal kehamilan, saya 'sediakan' dua nama, untuk anak
laki-laki dan untuk anak perempuan. Diskusi dilakukan dengan siapa
saja, ayah si bayi, keluarga dekat, teman-teman kerja, bahkan dengan
orang yang ditemui saat di kursi antrian dokter. Ingin saya, nama anak
saya bahasa indonesia. Bukan bahasa yunani atau sansekerta atau
persia. Harus bahasa indonesia. Tak bisa ditawar. Syarat lain, orang
lain harus bisa melafalkan nama itu. Biasa kan, ibu modern... punya
cita-cita anak bisa bersekolah di luar negeri. Jangan sampai seperti
pakde teman saya. Namanya Roem. Di rumah dipanggil, Mas Roem karena
orang jawa tulen. Ketika tinggal di Amerika, Ibunya pun tetap
memanggil Mas Roem. Walhasil, tetangga di apartemen sebelah menuduh ia
bernama "mushroom". Gawat.

Nama itu juga tidak boleh mengandung unsur agama apapun. Lagi-lagi
karena pengalaman seorang teman yang namanya sangat islami, hingga
harus buang waktu berjam-jam ketika melewati imigrasi Amerika. Duh.

Menjelang hari melahirkan, ketika dokter sudah memastikan anak saya
laki-laki, saya pun makin mantap dengan nama pilihan. Iseng, saya
kirim email ke teman saya yang seorang Inggris tentang pilihan nama
ini. Balasannya singkat saya: how do i spell it? It has so many
'g's... Oops... Akhirnya saya harus merelakan 'unsur' bahasa asing
sebagai nama depan anak saya. Ketika Aria Gaung Gentajiwa lahir, bagi
saya sih...dia memang seperti nyanyian yang lahir dari seluruh gema
dalam batin saya. Sok puitis? Biarin.

Tentang nama saya sendiri, kalai dipaksa-paksa sedikit, mungkin
orangtua mungkin mendoakan agar saya jadi anak berbudi. Saya pikir,
nama saya cukup unik karena selama masa sekolah banyak yang
mengidentifikasi saya sebagai 'Budi yang perempuan'. Tetapi suatu
ketika saya berkenalan dengan Budiana yang laki-lahi. Haduh.
Pernah saat libur, di bandar udara saya mencari petugas hotel yang
menjemput. Ketika saya temui nama belakang saya di sebuah papan,
segera saya hampiri petugasnya. Dengan ramah ia minta saya untuk
menunggu katanya masih ada tamu yang harus dijemput juga. Baiklah.
Tunggu punya tunggu.... Kenapa tamu itu tak datang-datang juga? Karena
sudah cukup malam, saya 'paksa' pak penjemput menghubungi hotel untuk
konfirmasi. Untung dia mau dan segera angkat telepon. Tak lama, ia
menghampiri saya.

"Tamunya btal datang, ya?", tanya saya. "Hehehe maaf, bu, saya kira
harus menjemput Bu Indrastuti dan Pak Budiana. Ternyata orangnya sama
ya? Hehehe... maaf bu," katanya senyum-senyum menyebalkan. Astaga.

Nama memng harus hati-hati dipilih, karena kalau tidak bisa jadi salah
sangka. Tak percaya? Ada teman saya yang karena keisengan masa kecil
akhirnya punya nickname 'disco'. Tidak ada maksud apa-apa, hanya
karena seru dan - di masa lalu- kesannya keren. Namun, menurut si
empunya nama, sekarang inii ia sering merasa bersalah pada ibunya.
Mengapa? "Banyak orang menyangka aku dilahirkan di diskotik, karena
namaku." Ha ha ha...

Posted via email from karima's posterous

1 komentar:

Budiana mengatakan...

terima kasih ya sudah mengetik ulang Sharing & Blessing dari Majalah Good Housekeeping Indonesia.