Jangan Jadi Anak ITB...

|
Baru-baru ini, pengumuman penerimaan calon mahasiswa sedang marak, baik yang berasal dari proses SNMPTN maupun yang berasal dari jalur mandiri. Semua orang tahu, itu bukanlah suatu proses yang mudah bagi banyak orang. Bahkan, ada yang harus menempuh persiapan bertahun-tahun untuk dapat diterima di perguruan tinggi yang ia inginkan. It deserves to be celebrated. Congratulation!

Not to mention, my almamater, ITB, is surely one place a lot of people have been dreaming about. Kualitas ilmu beserta jajaran staf pengajar dan fasilitas belajar adalah hal-hal yang membuat dirinya semakin dinikmati. Wahai ITB, I'm also proud of you because of those ;)

Tapi jangan salah, nama ITB juga seringkali jadi sasaran empuk ejekan orang banyak. Bahkan, pernah suatu kali di tempat kerjaku, seorang pakar pendidikan yang "mampir" datang untuk memberikan wejangan memberikan komentar miring mengenai lulusan ITB. Everyone may have known about this. Secara keilmuan, ITB mampu mencetak lulusan yang banyak tahu. Tapi kalau dilihat dari sisi pendidikan, ITB juga mampu mencetak lulusan yang sok tahu (duh!)

Bukannya aku mau menjelekkan almamaterku sendiri, tapi memang seperti itulah keadaannya. Sang pakar pendidikan yang mampir ke tempat kerjaku itu menyinggung kemampuan sosial dari kebanyakan anak ITB yang minim. Dari segi usia, seseorang lulusan perguruan tinggi seharusnya sudah menguasi kemampuan sosialisasi yang baik, seperti bagaimana mengemukakan pendapatnya dengan baik di muka umum atau meminta tolong kepada orang lain dengan cara yang menyenangkan. Namun, seringkali kesan yang didapat oleh orang lain yang berinteraksi dengan lulusan-lulusan ITB adalah sombong dan sok tahu. Wahai teman-temanku sealmamater, jangan bersedih. I also got those impressions all the time. Dan berdasarkan pengalaman pribadi, bisa jadi mereka yang terkesan sombong dan sok tahu itu tak paham bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain, dan akhirnya they do what they've known best, talking about their knowledge, their achievement, in order to get attention from the surrounding. Atau bisa jadi, kalimat yang ia lontarkan begitu blak-blakan sehingga membuat jengah si lawan bicara. Alhasil, kata sombong dan sok tahulah yang menempel pertama kali.

Seorang teman lamaku yang juga lulusan ITB pun mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, anak ITB itu seringkali jadi orang yang oportunis. Mereka mendekati orang lain hanya ketika ada sesuatu yang diinginkan. Hahaha, aren't we all? Yes, but there are always nicer path to do such things. Di sinilah kemampuan sosial seseorang diuji.

Well, the good thing is, kekurangan dalam bersosialisasi adalah sesuatu yang normal terjadi pada anak-anak yang memiliki kemampuan inteligensia yang tinggi. Otaknya mampu menyerap dan mengolah informasi sangat cepat sehingga seringkali ia menjadi tidak sabar menghadapi teman-temannya yang secara intelegensia lebih rendah darinya. It started from the early stages of their life. Ketidaksabaran ini bisa jadi terlalu dimaklumi oleh para orangtua, sang anak berintelegensia ini justru difasilitasi agar kemampuan intelegensianya lebih berkembang, seperti dimasukkan ke dalam kelompok belajar yang memiliki kemampuan setara. Ini tidak salah, memang, hanya saja perlu diimbangi dengan pendidikan emosional dan sosial. Perlu juga anak-anak tersebut disatukan dalam kelompok yang berisi anak-anak dengan kemampuan beragam. Ketika sang anak cerdas ini bertemu dengan anak lain yang intelegensianya lebih rendah, ajarilah ia untuk bersabar dan saling membantu. Ini bukanlah proses yang mudah bagi anak tersebut, tetapi hal ini harus dihadapi agar ia terbiasa. Toh di dunia nyata, tak semua anak sepintar dia. Selain itu, biasakan juga anak bertemu dengan mereka yang punya ilmu lebih banyak. Tak harus teman sebaya, bisa juga orang yang umurnya lebih tua. Ajarilah untuk rendah hati dan mau belajar dari orang lain. Itu akan membuatnya terbuka pada kenyataan bahwa masih banyak loh ilmu yang bisa diperoleh.

And again, it isn't a one-or-two-days job. Ini adalah latihan bertahun-tahun. Mereka yang sudah dewasa pun masih perlu untuk mengasah kedua hal ini. Kemampuan sosial adalah sesuatu yang bisa dipelajari. It's a skill that everyone should learn and practice about.

In the end, I'm grateful to have an oppotunity to enter such a wonderful place and meet wonderful people. Much have I learnt from you.

Love always,

Karima Yolita
Koordinator Bidang Studi Bhs. Inggris
SDIT Citra Az-zahra
Kompleks Taman Alfa Indah, Blok G1
Joglo, Jakarta Barat

Posted via email from karima's posterous

0 komentar: